Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari ratusan bahkan
ribuan budaya dan karakteristik kehidupan yang unik. Kita tahu bahwa
dari kepulauan-kepulauan itilah, dari Sabang sampai Merauke kebudayaan
masyarakat Indonesia sangat lekat, bahkan tidak sedikit negara-negara
asing yang tertarik dengan kebudayaan Indonesia. Di Yogyakarta misalnya
ada tradisi Sekaten dimana hingga saat ini masih dipertahankan dengan
konsep yang lebih modern tetapi tidak mengubah makna dari Sekaten itu
sendiri. di Bali
juga terdapat tradisi yang turun menurun yaitu Ngaben yang cukup
sakral. Itulah Indonesia yang memiliki banyak budaya dan tradisi
masyarakat yang masih melekat.
Salah satu pulau yang sangat eksostis dari segi budaya adalah Pulau Nias. Nias diyakini masyarakat setempat sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Kebudayaannya pun sangat kental hingga saat ini meski zaman telah mengalami perubahan sedemikian cepat. Nilai-nilai luhur yang ada menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nias.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat mau tidak mau akan mengubah dan menggeser dari yang klasik menjadi modern. Begitu pula dengan perkembangan budaya yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan mulai dari makna sampai konsep yang dilakukan yang disesuaikan dengan perkembangannya. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sudah modern, masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai luhur nenek moyang yang disebut dengan kebudayaan. Nilai-nilai kearifan lokal kian terkikis seiring dengan perkembangan zaman dan minimnya sosialisasi kebudayaan kepada generasi saat ini yang cenderung mengalami gagap budaya.
Dalam budaya serta tradisi yang dianut suatu etnis tertentu bisa dibilang harga diri adalah hal yang paling penting dari sederet tujuan pelaksanaan tradisi yang dilakukan di masyrakat. Harga diri, bagi sebagian orang menjadi hal yang sangat penting dan harus dipertahankan. Terlebih apabila harga diri itu berasal dari peraturan yang memiliki nilai-nilai budaya. Apapun akan dilakukan untuk melindungi sebuah harga diri. Setiap orang yang masih memegang adat memiliki harga diri yang tidak bisa ditawar oleh apapun. Harga diri bagi masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat serta sebagai bentuk pengabdian diri kepada leluhur menjadi sarana dalam memelihara kearifan lokal adat suatu daerah.
Novel Manusia langit secara eksplisit menerangkan fakta sejarah (historis) dan budaya (etnolografi) yang diramu secara fiksi menjadi sebuah buku yang sangat eksentrik. Tidak semua penulis bisa menyajikan fakta etnografi menjadi sebuah fiksi yang cukup memikat. Latar belakang penulis, J A Sonjaya yang lebih banyak sebagai peneliti dan dosen menegaskan bahwa semua orang bisa menulis novel. Novel manusia langit menyajikan keindahan dan kehidupan adat Nias yang sesungguhnya. Kisah cinta antara Mahendra dan Yasmin menjadi bumbu pelengkap dari sebuah novel Manusia Langit sehingga jalan ceritanya tidak melulu pada sebuah fakta sejarah dan budaya yang akan membuat pembaca semakin bosan.
Disinilah J A Sonjaya begitu piawi dalam menyambungkan kisah cinta Mahendra dan Yasmin dengan sebuah etnografi yang kaya akan nilai-nilai luhur, sehingga jalan ceritanya cukup menyentuh. Hal itu bisa dilihat bagaimana Yasmin mengakhiri hidupnya dengan janin yang dikandungnya hanya untuk melindungi sebuah arga diri. Harga diri keluarga dan harga diri orang-orang di sekelilingnya, termasuk Mahendra (hlm: 64). Sama halnya dengan bagaimana orang-orang Banuaha mempertahankan harga dirinya dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.
Membaca novel Manusia Langit seakan membaca sebuah dongeng. Dongeng dimana masih ada kisah roh halus pemakan bayi dan kepercayaan terhadap makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Cerita tentang Kuyang, roh halus pemakan bayi menjadi bagian kepercayaan masyarakat yang masih melekat hingga saat ini. Dalam buku ini Kuyang atau roh halus pemakan bayi memiliki sejarah yang cukup panjang, meski tidak diceritakan secara menyeluruh namun pada intinya keberadaan Kuyang adalah mitos yang masih melekat di masyarakat Nias yang berawal dari masyarakatnya yang ketika itu masih primitif dan hidup berpindah-pindah sehingga dalam keadaan seperti itu masyarakat tidak sanggup apabila harus mengurus anak dengan kehidupan yang berpindah-pindah.
Cerita Kuyang seperti halnya di Jawa masyarakatnya mengenal yang namanya Kalongwewe, roh halus yang suka menculik anak-anak kecil. Atau juga sering mendengar Kuntilanak, makhluk penculik bayi yang baru lahir. Hanya saja cerita mitos di Jawa itu tidak memiliki unsur cerita serajarah yang kompleks sehingga masyarakat Jawa sebagian percaya dan sebagian lagi masih mempertanyakan.
Tidak hanya itu, di sini, pembaca akan disuguhkan bagimana sebuah harga diri yang berlaku di masyarakat adat Nias begitu memiliki “nilai paten”. Bahkan karena harga diri apapun yang terjadi akan dilakukan untuk meningkatkan harga diri seperti melakukan pesta yang menjadi sebuah ‘kewajiban’ masyarakat setempat dengan memotong lebih dari 10 ekor babi. Atau seorang pemuda yang hendak menikah harus mempersiapkan minimal 12 babi sebagai persembahan dalam pesta perkawinan ataupun upacara sakral lainnya (hlm: 124). Semua itu hanya untuk harga diri agar tidak jatuh di masyarakat.
Novel Manusia Langit sungguh unik karena memperlihatkan sejarah kebudayaan masyarakat Nias yang hingga kini masih dilakukan. Tidak hanya itu, novel Manusia Langit membuka khasana kebudayaan dan tradisi yang melekat di Nias dengan berbagai karakter. Buku ini akan membawa kita pada kehidupan masyarakat Nias yang masih menyimpan nilai-nilai kearifan lokal. Tidak hanya Nias sebenarnya, hampir semua daerah masih menyimpan kearifan lokal. Bali Misalnya yang masih memegang tradisi Ngaben hingga saat ini.
Buku Manusia Langit sangat layak daibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui nilai-nilai budaya di Nias dengan tidak “sok menggurui”. Novel Manusia Langit memberikan khasanah keindahan budaya. Nilai-nilai budaya yang terkemas dalam Novel Manusia Langit merupakan bagian dari kearifan lokal yang masih dipertahankan masyarakat sekitar. Romantisme dan haru-biru kisah cinta antara sepasang manusia yang memiliki perbedaan prinsip menambah nilai plus dalam novel ini. Selamat membaca!
*) Penulis adalah penikmat buku
Judul Buku : Manusia Langit
Pengarang : J.A. Sonjaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : September 2010
Tebal Halaman: 14 cm x 21 cm
Harga : Rp 38.000
Salah satu pulau yang sangat eksostis dari segi budaya adalah Pulau Nias. Nias diyakini masyarakat setempat sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Kebudayaannya pun sangat kental hingga saat ini meski zaman telah mengalami perubahan sedemikian cepat. Nilai-nilai luhur yang ada menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nias.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat mau tidak mau akan mengubah dan menggeser dari yang klasik menjadi modern. Begitu pula dengan perkembangan budaya yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan mulai dari makna sampai konsep yang dilakukan yang disesuaikan dengan perkembangannya. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sudah modern, masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai luhur nenek moyang yang disebut dengan kebudayaan. Nilai-nilai kearifan lokal kian terkikis seiring dengan perkembangan zaman dan minimnya sosialisasi kebudayaan kepada generasi saat ini yang cenderung mengalami gagap budaya.
Dalam budaya serta tradisi yang dianut suatu etnis tertentu bisa dibilang harga diri adalah hal yang paling penting dari sederet tujuan pelaksanaan tradisi yang dilakukan di masyrakat. Harga diri, bagi sebagian orang menjadi hal yang sangat penting dan harus dipertahankan. Terlebih apabila harga diri itu berasal dari peraturan yang memiliki nilai-nilai budaya. Apapun akan dilakukan untuk melindungi sebuah harga diri. Setiap orang yang masih memegang adat memiliki harga diri yang tidak bisa ditawar oleh apapun. Harga diri bagi masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat serta sebagai bentuk pengabdian diri kepada leluhur menjadi sarana dalam memelihara kearifan lokal adat suatu daerah.
Novel Manusia langit secara eksplisit menerangkan fakta sejarah (historis) dan budaya (etnolografi) yang diramu secara fiksi menjadi sebuah buku yang sangat eksentrik. Tidak semua penulis bisa menyajikan fakta etnografi menjadi sebuah fiksi yang cukup memikat. Latar belakang penulis, J A Sonjaya yang lebih banyak sebagai peneliti dan dosen menegaskan bahwa semua orang bisa menulis novel. Novel manusia langit menyajikan keindahan dan kehidupan adat Nias yang sesungguhnya. Kisah cinta antara Mahendra dan Yasmin menjadi bumbu pelengkap dari sebuah novel Manusia Langit sehingga jalan ceritanya tidak melulu pada sebuah fakta sejarah dan budaya yang akan membuat pembaca semakin bosan.
Disinilah J A Sonjaya begitu piawi dalam menyambungkan kisah cinta Mahendra dan Yasmin dengan sebuah etnografi yang kaya akan nilai-nilai luhur, sehingga jalan ceritanya cukup menyentuh. Hal itu bisa dilihat bagaimana Yasmin mengakhiri hidupnya dengan janin yang dikandungnya hanya untuk melindungi sebuah arga diri. Harga diri keluarga dan harga diri orang-orang di sekelilingnya, termasuk Mahendra (hlm: 64). Sama halnya dengan bagaimana orang-orang Banuaha mempertahankan harga dirinya dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.
Membaca novel Manusia Langit seakan membaca sebuah dongeng. Dongeng dimana masih ada kisah roh halus pemakan bayi dan kepercayaan terhadap makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Cerita tentang Kuyang, roh halus pemakan bayi menjadi bagian kepercayaan masyarakat yang masih melekat hingga saat ini. Dalam buku ini Kuyang atau roh halus pemakan bayi memiliki sejarah yang cukup panjang, meski tidak diceritakan secara menyeluruh namun pada intinya keberadaan Kuyang adalah mitos yang masih melekat di masyarakat Nias yang berawal dari masyarakatnya yang ketika itu masih primitif dan hidup berpindah-pindah sehingga dalam keadaan seperti itu masyarakat tidak sanggup apabila harus mengurus anak dengan kehidupan yang berpindah-pindah.
Cerita Kuyang seperti halnya di Jawa masyarakatnya mengenal yang namanya Kalongwewe, roh halus yang suka menculik anak-anak kecil. Atau juga sering mendengar Kuntilanak, makhluk penculik bayi yang baru lahir. Hanya saja cerita mitos di Jawa itu tidak memiliki unsur cerita serajarah yang kompleks sehingga masyarakat Jawa sebagian percaya dan sebagian lagi masih mempertanyakan.
Tidak hanya itu, di sini, pembaca akan disuguhkan bagimana sebuah harga diri yang berlaku di masyarakat adat Nias begitu memiliki “nilai paten”. Bahkan karena harga diri apapun yang terjadi akan dilakukan untuk meningkatkan harga diri seperti melakukan pesta yang menjadi sebuah ‘kewajiban’ masyarakat setempat dengan memotong lebih dari 10 ekor babi. Atau seorang pemuda yang hendak menikah harus mempersiapkan minimal 12 babi sebagai persembahan dalam pesta perkawinan ataupun upacara sakral lainnya (hlm: 124). Semua itu hanya untuk harga diri agar tidak jatuh di masyarakat.
Novel Manusia Langit sungguh unik karena memperlihatkan sejarah kebudayaan masyarakat Nias yang hingga kini masih dilakukan. Tidak hanya itu, novel Manusia Langit membuka khasana kebudayaan dan tradisi yang melekat di Nias dengan berbagai karakter. Buku ini akan membawa kita pada kehidupan masyarakat Nias yang masih menyimpan nilai-nilai kearifan lokal. Tidak hanya Nias sebenarnya, hampir semua daerah masih menyimpan kearifan lokal. Bali Misalnya yang masih memegang tradisi Ngaben hingga saat ini.
Buku Manusia Langit sangat layak daibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui nilai-nilai budaya di Nias dengan tidak “sok menggurui”. Novel Manusia Langit memberikan khasanah keindahan budaya. Nilai-nilai budaya yang terkemas dalam Novel Manusia Langit merupakan bagian dari kearifan lokal yang masih dipertahankan masyarakat sekitar. Romantisme dan haru-biru kisah cinta antara sepasang manusia yang memiliki perbedaan prinsip menambah nilai plus dalam novel ini. Selamat membaca!
*) Penulis adalah penikmat buku
Judul Buku : Manusia Langit
Pengarang : J.A. Sonjaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : September 2010
Tebal Halaman: 14 cm x 21 cm
Harga : Rp 38.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar