Jumat, 26 September 2014

SBY Kecewa dengan Keputusan bahwa Pilkada lewat DPRD

Editor: Filemon Soalisokhi Hulu

Jumat, 26 September 2014 | 09:23 WIB
KOMPAS/RIZA FATHONI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku kecewa dengan hasil pemungutan suara DPR tentang Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. Hasilnya, mekanisme pemilihan kepala daerah berubah menjadi lewat DPRD.
Kekecewaan itu diungkapkan SBY saat menyampaikan keterangan pers di Washington DC, Kamis malam waktu setempat atau Jumat (26/9/2014) pagi waktu Jakarta, seperti dikutip Antara.
"Saya kecewa dengan hasil proses politik yang ada di DPR RI, meskipun saya menghormati proses itu sebagai seorang demokrat, sekali lagi saya kecewa dengan proses dan hasil yang ada," kata SBY.
Ia mengaku kecewa karena usul Partai Demokrat di DPR, untuk membuka opsi pemilihan langsung dengan 10 syarat agar tidak ada ekses negatif dalam pelaksanaan Pilkada langsung, ditolak oleh fraksi-fraksi lain di DPR. (Baca: Demokrat "Keukeuh" 10 Syaratnya Masuk dalam Draf RUU Pilkada)
Sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada menjadi UU pada Kamis hingga Jumat dini hari berlangsung alot hingga harus diputuskan melalui voting. Hasil akhirnya, sebanyak 135 anggota yang hadir memilih agar pilkada tetap secara langsung.
Adapun 226 orang mendukung mekanisme agar pilkada diselenggarakan oleh DPRD. Fraksi Partai Demokrat, yang semula mendukung agar pilkada langsung oleh rakyat dan disertai syarat, memilih walkout ketika syaratnya sudah disetujui oleh Fraksi PDI-P, Fraksi PKB dan Fraksi Hanura. (Baca: "Sejak Awal Demokrat Ingin Cuci Tangan soal RUU Pilkada")
Sebelumnya, SBY sempat mengaku mendukung mekanisme pilkada langsung. Dalam wawancara yang diunggah ke YouTube, SBY menilai sistem tersebut cocok dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia. (Baca: SBY Pilih Pertahankan Pilkada Langsung oleh Rakyat)
"Ini juga segaris dengan sistem presidensial, presiden dipilih secara langsung. Berbeda dengan sistem parlementer, pemimpin, apakah perdana menteri atau jabatan yang setara, dipilih oleh parlemen karena rakyat memilih parlemen," papar SBY.
Atas alasan itu, SBY ingin sistem yang telah berjalan sejak era reformasi tersebut dapat terus dijalankan. Ia pun mengingatkan perlunya menjaga sistem yang lahir dari alam demokrasi tersebut.
"Kalau kita kembali pada pilihan kita, buah dari reformasi yang kita jalankan selama ini, tentunya pilihan kepala daerah langsung itu mesti kita jaga dan pertahankan sebagaimana pula pemilihan presiden secara langsung," ujar SBY.

Rabu, 24 September 2014

CONGRATULATION FOR DEACONS ORDINATION OLEH YAYASAN PUSAKA NIAS & KELUARGA BESAR MPN



YAYASAN PUSAKA NIAS & KELUARGA BESAR MUSEUM PUSAKA NIAS MENGUCAPAKAN SELAMAT ATAS TAHBISAN KELIMA  ORANG  FRATER MENJADI DIAKON. 
Kelima frater itu yakni: Fr Aris Malau OFM.Cap, Fr Eduar Lase Pr, Fr Ambarita malau, Pr, Fr Fransisco Zai OFM.Cap dan Fr Paulus OFM Cap.

Kelima frater di atas ditahbiskan menjadi Diakon, Selasa (16/09/2014) di GEREJA KATOLIK St. MARIA BUNDA PARA BANGSA, PAROKI KON-KATEDRAL GUNUNGSITOLI oleh Mgr Ludovikus Simanullang, OFM Cap. Tahbisan itu dihadiri oleh 31 imam dan ratusan biarawan/wati serta umat.


GIFT GIVING TO DEACON ARIS MALAU, OFM.CAP
 BY FAOZISOKHI LAIA, SE.


GIFT GIVING TO DEACON EDUAR LASE, Pr.
BY FAOZISOKHI LAIA, SE.

GIFT GIVING TO DEACON AMBARITA MALAU, Pr.
BY FAOZISOKHI LAIA, SE.

GIFT GIVING TO DEACON FRANSISCO ZAI, OFM.CAP
BY FAOZISOKHI LAIA, SE.

GIFT GIVING TO DEACON PAULUS ZAI , OFM.CAP
BY FAOZISOKHI LAIA, SE.

Internet Indonesia Terancam Mati Total

Editor: Filemon Soalisokhi Hulu 
Dibaca: 157390
Komentar : 53

Ilustrasi.
JAKARTA, KOMPAS.com — Para penyelenggara layanan internet (internet service provider-ISP) di Indonesia sedang gusar. Pasalnya, mereka tidak mau dipenjarakan seperti mantan Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto.

Bukan tidak mungkin, perusahaan-perusahaan ISP tersebut menghentikan layanannya sama sekali dalam waktu beberapa minggu ke depan. Dampaknya, internet di Indonesia bisa mati total,
Kegusaran tersebut bermula dari vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider kurungan enam bulan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dijatuhkan kepada Indar karena kasus tuduhan korupsi pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G di PT Indosat.

Indar sempat mengajukan kasasi ke MA namun ditolak dan kini ia harus mendekam di LP Sukamiskin Bandung. MA juga menghukum IM2 dengan membayar uang pengganti Rp 1,3 triliun.
Selama ini, IM2, yang tidak memiliki izin frekuensi 3G, dalam operasinya menyewa bandwidth ke operator Indosat yang telah mengantongi izin frekuensi 3G.
Model bisnis serupa yang digunakan IM2 dan Indosat juga dipakai oleh para penyedia jasa layanan internet di Indonesia, yang jumlahnya lebih dari 200 ISP.
Kemenkominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sendiri sudah mengeluarkan pernyataan dan pembelaan yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan IM2 dan Indosat tidak menyalahi regulasi yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu, para penyelenggara jasa internet, seperti Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), khawatir jika kasus yang ditimpakan kepada Indar itu juga dilayangkan ke mereka.
Mereka pun sepakat untuk mempertanyakan status hukum bisnis layanan ISP, seperti yang dilakukan oleh IM2 dan Indosat kepada Mahkamah Agung (MA).
"Dalam minggu ini, kami akan mengirim surat kepada Mahkamah Agung untuk meminta fatwa, apakah skema bisnis seperti IM2 dan Indosat itu menyalahi aturan atau tidak," ujar Ketua Umum APJII.Semmy Pengerapan.
"Sebab, hampir sebagian besar ISP menggunakan skema bisnis yang sama," imbuhnya saat ditemui di Kantor Pusat Indosat di Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Pandi Andi Budimansyah mengatakan, jika MA mengeluarkan fatwa bahwa keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap kasus Dirut IM2 itu berlaku sama untuk semua penyedia layanan ISP, maka mereka akan terpaksa menghentikan layanan internetnya.
"Imbasnya, sekitar 71 juta pengguna internet di Indonesia terancam tidak dapat akses internet, alias mati total," ujar Andi.
"Kita akan kembali lagi ke zaman tahun 1995 sebelum ada internet di Indonesia," imbuhnya.

Sabtu, 06 September 2014

Malam Anugerah Pelestari Cagar Budaya dan Pemuseuman bagi para penerima penghargaan diselenggarakan di Museum Nasional

Pastor Johanes Hämmerle menerima Anugerah Pelestari Cagar Budaya 2014. Yang pertama dari Nias... Bravo! @ Museum Nasional Jakarta. 05.09.2014
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Malam Anugerah Pelestari Cagar Budaya dan Pemuseuman bagi para penerima penghargaan diselenggarakan di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Para nominasi penerima penghargaan pelestari cagar budaya 2014 terdiri dari tiga kategori diantaranya kategori juru pelihara terbaik jatuh pada juru pelihara Candi Sukuh.
Kemudian untuk kategori pelestari cagar budaya terbaik jatuh pada Pastor Johannes Maria Hammerle di Nias, Pastor Robert Ramone dari Nusa Tenggara Timur, Yuwono Sri Suwito dari Yogyakarta, dan Nadjib Hassan dari Jawa Tengah.
Sedangkan untuk kategori pemerintah kota peduli cagar budaya 2014 jatuh pada Pemerintah Kota Semarang. Selanjutnya untuk nominasi penerima anugerah museum 2014 yang terdiri dari enam kategori diantaranya untuk kategori museum kota terbaik tahun ini jatuh pada Museum Tekstil Jakarta.
Pada kategori museum swasta terbaik diberikan kepada Museum Batak TB Silalahi Center, Balige dan untuk kategori pemerintah provinsi peduli museum diserahkan kepada Pemerintah Kota Sawah Lunto, Sumatera Barat.
Malam Anugerah Pelestari Cagar Budaya dan Pemuseuman yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dihadiri oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan bidang Kebudayaan Wiendu Nuryati, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro dan para pejabat daerah.
Source: http://filemonnews.blogspot.com/2014/09/malam-anugerah-pelestari-cagar-budaya.html
 https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201686590526095&set=a.1784158263300.71056.1819812861&type=1&theater
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/malam-anugerah-pelestari-cagar-budaya-dan-pemuseuman

Editor :Filemon Soalisokhi Hulu

These 10 countries are destined for an epic year, whether they’re hosting festivals, cutting the ribbon on new attractions or simply raising their game for travellers. Feast your eyes on 2014's most unmissable destinations.


1. Brazil

All eyes on the pitch for 2014’s World Cup
A game of beach football in Rio. Image by Yasuhide Fumoto / The Image Bank / Getty Images.
A game of beach football in Rio. Image by Yasuhide Fumoto / The Image Bank / Getty Images.
Related article: Best beaches and small islands for travel in 2014
As if endless strands of sun-toasted coast, mountains splashed with Crayola-green rainforest and some of the planet’s most beautiful colonial villages didn’t already add up to an unfair share of heaven, Brazil goes and snags two of the most coveted sporting events in the world, beginning with the 2014 FIFA World Cup and followed two years later by the 2016 Summer Olympics. Tack on a recession-dodging economy, and boom! Brazil is the belle of the ball. Be it trekking across towering windswept dunes peppered with cerulean lagoons in Lençóis Maranhenses, exploring gilded colonial churches in frozen-in-time cities such as Ouro Preto or swimming in aquarium-like rivers near Bonito, Brazil’s diversity will leave you slack-jawed.

2. Antarctica

The adventure of a lifetime
 A noisy gentoo penguin in Antarctica. Image by Ralf Hettler / E+ / Getty Images.
 A noisy gentoo penguin in Antarctica. Image by Ralf Hettler / E+ / Getty Images.
Tune into your average wildlife television program and you can’t fail to be dazzled by Antarctica’s majestic icebergs, calving glaciers and unexplored mountain ranges. Or you’ll watch its native penguin species frolic while avoiding fierce leopard seals and roaming pods of killer whales, as millions of seabirds spiral over the wild Southern Ocean. This year marks the centenary of the start of Ernest Shackleton’s infamous attempted Antarctic crossing. Visiting this pristine continent (which doesn’t have an indigenous population and is not actually a country) in 2014 is a chance to take life on and follow in the path of other intrepid explorers – but with cushier amenities.

3. Scotland

An eventful year
The rugged scenery of Glencoe in the Scottish Highlands. Image by Stephen Weaver Photography / Flickr Open / Getty Images.
The rugged scenery of Glencoe in the Scottish Highlands. Image by Stephen Weaver Photography / Flickr Open / Getty Images.
To coincide with Glasgow hosting the XX Commonwealth Games in the summer of 2014, the city has had a multi-million-pound facelift: new sports venues, improved transport links and a regeneration of Glasgow Harbour. It is also the Year of Homecoming, a government initiative to welcome the Scottish diaspora back to the mother country by celebrating Scotland’s heritage, food and drink. The phrase ‘there’s something for everyone’ applies: Europe’s biggest brass band festival blasts Perthshire, an orienteering contest around Scottish castles, the Spirit of Speyside Whisky Festival in May... Despite all this, politics will take centre stage: to be or not to be independent, that is the question. Hold onto your hats, Scotland.

4. Sweden

Food, culture and scary stories
Summertime in Västra Götaland, Sweden. Image by Christer Fredriksson / Lonely Planet Images / Getty Images.
Summertime in Västra Götaland, Sweden. Image by Christer Fredriksson / Lonely Planet Images / Getty Images.
Thanks to the late Swedish author Stieg Larsson, most people have a sense of what Sweden’s like, even in the far north – cold, beautiful and a bit scary. Sweden is emerging with a new pop-culture persona. Perhaps not coincidentally, northern Sweden’s largest city, Umeå, is the European Capital of Culture for 2014. Then there’s the food. The capital has long been a stylish, top-notch destination for serious gourmands and boldly experimental chefs but lately the reputation and influence of Swedish cooking have spread beyond the country’s borders. Considering that Swedish cuisine is so strongly tied to locally sourced ingredients (be it seafood, game, berries, herbs or regional cheeses), it makes perfect sense to go to the source of all this fine food.

5. Malawi

The Big Five and beach life without the crowds
Elephant marches through Majete Wildlife Reserve in Malawi. Image by John Warbuton-Lee / AWL Images / Getty Images.
Picture this: mere hours after touching down in Malawi’s second-largest city, Blantyre, you check into superluxe digs (or pitch your tent) at the Majete Wildlife Reserve, which only 10 years ago lay decimated by poaching, but last year gained Big Five status thanks to a wildlife relocation project. You get up close to the aforementioned elephant, rhino, lion, leopard and buffalo without the pesky 4WD scrum so common in Africa’s best-known parks. Then perhaps it’s off to Lake Malawi for a spot of high-visibility snorkelling, or Mt Mulanje for a hike over hazy peaks in an otherworldly moonscape. And there’s always the Viphya Plateau, a haunting wilderness of grasslands and whaleback hills that feels downright prehistoric.

6. Mexico

The sleeping giant is waking
Roadside fruit and vegetable stall in Oaxaca, Mexico. Image by Greg Elms / Lonely Planet Images / Getty Images.
Sun-baking on a Caribbean beach after partying all night in Cancún; shopping for brightly coloured handicrafts or gorging on seven types of mole (chilli sauce) in Oaxaca; stepping back in time at a Mayan temple – it’s easy to feel optimistic when you’re kicking back in Mexico. And it’s not just the holidaymakers - many Mexicans are happier about living in Mexico now than most can ever remember. Exciting developments on the travel scene have continued, from major new Maya museums in Cancún and Mérida to the installation of Latin America’s longest ziplines on the rim of the awe-inspiring Copper Canyon. Now Mexico’s image is on the cusp of change – it’s time to dust off your Mexican dream again and enjoy it to the max before those prices go back up and the crowds really start rolling in.

7. Seychelles

Paradise within reach
An idyllic spot on Anse Lazio beach on Praslin in the Seychelles. Image by Ruth Eastham & Max Paoli / Lonely Planet Images / Getty Images.
An idyllic spot on Anse Lazio beach on Praslin in the Seychelles. Image by Ruth Eastham & Max Paoli / Lonely Planet Images / Getty Images.
These 115 divine islands strewn across the peacock-blue Indian Ocean have all the key ingredients for a once-in-a-lifetime holiday, but their reputation as a millionaire’s playground may have kept you away. Good news: on top of exclusive island hideaways and elegant eco-villas, you can benefit from the wallet-friendlier B&Bs, picturesque Creole guesthouses and self-catering apartments that have sprung up over the past decade. And if expensive air tickets deterred you from visiting, rejoice! Increased competition has dramatically changed the situation over the past few years. And there’s much more to do than sipping cocktails on the beach. Hiking, diving, snorkelling, boat tours and other adventure options are all readily available, with the added appeal of grandiose scenery. Wildlife lovers will get a buzz too – the Seychelles is not dubbed ‘The Galápagos of the Indian Ocean’ for nothing.

8. Belgium

High emotions in Europe's underrated gem
Historic buildings along the River Leie in Ghent, Belgium. Image by Allan Baxter / The Image Bank / Getty Images.
Historic buildings along the River Leie in Ghent, Belgium. Image by Allan Baxter / The Image Bank / Getty Images.
Belgium has picturesque cities – Bruges, Antwerp, Ghent – and in Brussels a walkable capital with great museums. The food and drink is a gustatory blast (think the world’s best beer, chocolate and chips), the countryside flat and placid, the seaside surprisingly chic, while cultural treasures range from medieval masters to Tintin. Yet the words ‘Belgium’ and ‘holiday’ don’t usually mix. From 2014, a huge influx of visitors is expected due to the 100th anniversary of the outbreak of WWI – a festival of remembrance lasting until 2018 – which may change preconceptions. Belgo-newbies will find medieval towns where culture and gastronomy meet, with Gothic buildings, paintings by Breugel, Van Eyck and Magritte, canals and cool shops. And they’ll discover mellow meadows, where cows moo beside monuments, and battlefields and cemeteries that testify to the horrors of a war now shifting from living memory.

9. Macedonia

Back to the future, Balkan-style
Church on the shores of Lake Ohrid, Macedonia. Image by Keren Su / Photodisc / Getty Images.
Church on the shores of Lake Ohrid, Macedonia. Image by Keren Su / Photodisc / Getty Images.
The year 2014 marks the completion of the government’s love-it-or-hate-it makeover of the capital, Skopje. The Macedonian capital has at the same time quietly become more visitor-friendly, with a bevy of cool new hostels, upscale wine bars and bistros, and one of southeastern Europe’s best club scenes. Beyond work-in-progress Skopje and the more established tourist sites such as Lake Ohrid, Mavrovo ski area and ancient Stobi, new things are happening elsewhere. Quiet Berovo, on the border with Bulgaria, is an up-and-coming contender on the spa-hotel scene. Also in Macedonia’s idyllic eastern half, sturdy old Kratovo – with Ottoman-era stone bridges and cobblestone lanes – is revitalising previously derelict Turkish mansions, attesting the bygone wealth of this old mining town. And in the arid central vineyard region of Tikveš, new quality wineries are catering to thirsty visitors.

10. Malaysia

A revitalised Malaysia goes back to business
Kek Lok Si Temple in Penang, Malaysia. Image by MIXA / Getty Images.
Kek Lok Si Temple in Penang, Malaysia. Image by MIXA / Getty Images.
With its sights set on 28 million visitors to the country, Malaysia is rolling out an array of new attractions. The headline-grabbers are the largest bird park in Southeast Asia in Melaka (with 6000 birds featuring 400 species), and Legoland Malaysia and Hello Kitty Land in Nusajaya, which are packing in both locals and Singaporeans flocking across the causeway. The new second terminal at Kuala Lumpur International Airport (KLIA2), catering mainly to the booming budget airline sector, is another major factor in attracting more visitors. Competitive fares offered by Malaysia Airlines, AirAsia, Firefly and new operator Malindo Air make getting around this widely spread-out country a cinch. Further afield, weekly direct links are now scheduled to destinations as diverse as Istanbul and Pyongyang. Amazing experiences await in Malaysian Borneo, from exploring off-the-beaten- track Kudat to indulging at the luxurious Gaya Island Resort on Pulau Gaya. And active travellers can discover the country on two wheels as cycle tourism takes off with guided tours in Sabah, a proposal to build a bike path around the coast of Penang, and a community project to map out cycle routes around Kuala Lumpur.

Senin, 01 September 2014

Dongeng: Silewe Mazauwu di Sungai Helaowo Sidele Gi’a




  Helaowo Sidele Gia tidak jauh dari kecamatan Gomo, sekitar 3 kilometer dari ibu kota kecamatan. Di situ ada sungai yang diberi nama Helaowo. Lalu, tanpa diketahui persis entah sejak kapan, tempat itu disebut Helawo Sidele Gi’a. Ada pun alasan pemberi nama tempat itu, karena bertepatan di lokasi itu aliran sungai Helaowo memiliki air terjun. Persis pada kawah jatuhnya air terjun yang tidak begitu tinggi itu, terdapat lubuk sungai yang juga tidak begitu dalam, akan tetapi cukup bagus sebagai tempat pemandian dan arena belajar berenang bagi anak-anak usia SD. Konon ceritanya, dahulu, tempat itu dijaga oleh seorang Dewa yang menurut pengakuan warga sekitarnya berjenis kelamin perempuan dan tergolong makhluk halus. Dewa ini bernama Silewe Mazauwu. Silewe Mazauwu adalah dewi yang baik, namun menurut ceritera orang-orang tua di situ, jika ada warga yang melakukan perbuatan terlarang oleh Dewi Silewe Mazauwu, maka yang bersangkutan jatuh sakit, karena sang Dewi penjaga air terjun itu marah.

Perbuatan yang dilarang disitu misalnya menangkap ikan dan meracuninya dengan memberikan tuba alamiah yan diracik dari tumbuh-tumbuhan. Akibat ceritera tersebut maka, warga tidak berani menangkap ikan dan hewan air yang hidup subur di sungai itu. Karena warga sekitar tempat itu takut dan lama sekali tidak pernah menangkap ikan yang ada di lubuk air terjun yang dikelilingi oleh pepohonan yang rindang itu, maka ikan-ikan dan binatang air lainya berkembang melimpah ruah hingga ukurannya besar.
Suatu petang, menjelang matahari terbenam, adalah seorang warga yang kebetulan lewat di dekat salah satu tepi lubuk air terjun itu. Mendengar adanya suara ribut ’mudele,’ maka orang tersebut pergi menghampirinya ke arah lubuk kawah air terjun, lalu dia menyaksikan kerumunan ikan dan baru mengetahui bahwa suara ikan-ikan itulah yang membuat keributan. Dan lebih mengherankan lagi, karena ia dengan sepintas melihat salah seekor dari ikan-ikan itu yang berpenampilan aneh dengan tubuh hanya sebelah bagaikan ikan yang telah dibelah dua dari kepala hingga ke ekornya.
Sejak peristiwa itu kawah air terjun di sungai itu disebut “Helaowo Sidele Gi’a“ artinya kawah air terjun dimana ada ikan-ikan yang bersuara ribut.
Pesan dan makna ceritera
Si penutur awal ceritera tersebut merupakan sosok pertama yang memberi perhatian pada konservasi alam. Ketika ia melihat adanya dampak negatif yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan ekosistem dari pengetahuan yang baru dikuasai oleh warga Nias di wilayah itu dalam hal meracik racun atau tuba “tuwa“ dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk menaklukan isi sungai demi pemenuhan protein.
Penutur menggunakan jalur religi untuk melarang masyarakat agar tidak menangkap ikan dengan cara menggunakan tuba. Karena dengan metode ini, semua hewan air baik yang kecil maupun yang besar akan mati jika kena air tuba. Dan jika hal ini terjadi maka kehidupan yang bergantung pada alam akan terganggu karena seumber protein akan punah. Namun penutur sadar bahwa warga baru bisa mengikuti larangannya untuk tidak merusak lingkungakan jika larangan dan ajakan itu dihubungan dengan dewa yang bisa memberi ganjaran pelanggaran mereka. Bisa jadi, karena secara psikologis warga sudah menakuti larangan itu, maka ketika mereka melanggarnya, mereka sungguh merasa bersalah dan jatuh sakit.